Senin, 17 November 2014

Kasus Penipuan Bisnis Online

Kasus ini terjadi pada tahun 2013, tepatnya Kamis (14/03/2013). Seorang mahasiswa salah satu universitas negeri yang ada di Bandung dijerat dengan undang-undang karena melakukan penipuan dalam menjalankan bisnis online-nya. Menurut sebuah artikel di Tempo.co, Kepolisian Daerah Jawa Barat menangkap KM (21) atas sebuah kejahatan penipuan online dengan modus investasi valuta asing atau foreign exchange.
KM menawarkan keuntungan besar lewat situsnya pandawainvesta.com. Tak tanggung-tanggung, KM membuka kantor cabang di daerah Cicaheum, Bandung, agar ‘calon korban’-nya lebih percaya dengan apa yang ia tawarkan. Ia menjalankan bisnis ini sejak November 2012 dan telah memperdaya 338 nasabah dengan total kerugian yang dihasilkan sekitar 40 miliar rupiah.              
Paket keuntungan yang KM tawarkan bervariasi. Mulai dari 50 persen, 70 persen, 100 persen, hingga 300 persen. Semakin banyak uang yang diinvestasikan oleh nasabahnya, semakin besar keuntungan yang dijanjikan oleh KM.
Pengusutan kasus KM didasari oleh laporan seorang nasabahnya. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan, nasabah-nasabah bisnis KM berasal dari berbagai daerah. Ada yang berasal dari Bandung, Jakarta, Bogor, Batam, Surabaya, hingga Samarinda. Kombes Martinus juga menyatakan, KM dijerat dengan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman enam tahun dan KUHP tentang Penipuan dengan ancaman hukuman empat tahun.

ü Analisa Kasus
Penipuan bisnis online terjadi melalui situs pandawainvesta.com. Kasus penipuan ini termasuk sebagai tindakan murni kejahatan didunia maya, karena penyelenggara dengan sengaja membuat situs untuk menipu dan menarik perhatian pembaca situs tersebut.
Penipuan bisnis online termasuk kedalam cybercrime illegal content karena pelaku  memasukan data atau informasi ke internet tentang suatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum. Sasaran dari penipuan bisnis online ini adalah individu dimana pelaku menyebarkan informasi tersebut dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara material.
Biasanya faktor yang mempengaruhi kejahatan ini adalah faktor ekonomi dan sosial budaya karena tingkat pengangguran dan kesejahteraan sosial masih kurang dimana motif pelaku adalah mengeruk keuntungan material yang dilakukan menggunakan fasilitas internet.
Berdasarkan tindak kejahatan yang pelaku lakukan, maka pelaku dapat terjerat hukum. Beberapa pasal yang menjeratnya, antara lain:
1.Pasal 28 UU No. 11/2008 tentang ITE. 
Pada pasal ini terdapat aturan secara khusus tentang tindak pidana tanpa   hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
2.Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dengan hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun.


Jumat, 14 November 2014

Kasus Hacking Website Presiden SBY oleh "Jember Hacker"

Peretasan situs SBY terjadi pada 9 Januari 2013. Investigasi online pelaku peretasan situs resmi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang beralamat di www.presidensby.com, membuahkan hasil setelah polisi bekerjasama dengan penyedia jasa internet melacak alamat internet protokol (IP Address) milik pelaku. Menurut analis keamanan internet, Ahmad Alkazimy, tim polisi siber mendapatkan IP Address pelaku dari perusahaan penyedia jasa internet (internet service provider/ISP).
Dalam kasus ini, situs web www.presidensby.info menggunakan jasa ISP Jatireja Network. Jatireja Network melaporkan identitas pelaku dan sejumlah bukti digital. Begitu dilacak, IP Address itu berada disebuah lokasi di Jember, Jawa Timur. Pelaku peretasan diduga bernama Wildan Yani Ashari, yang bekerja sebagai administrator di CV. Surya Infotama.
Dalam aksinya, Wildan melakukan deface atau mengganti tampilan asli halaman utama situs resmi Presiden SBY, Presidensby.info. Wildan tidak mencuri data, ia hanya masuk ke halaman lalu "mencorat-coret tembok" dengan teks "Hacked by MJL007" berwarna hijau, lalu meninggalkan logo dan teks "Jemberhacker Team" berwarna putih.
Setelah menjalani proses interogasi, pihak polisi menyatakan bahwa Wildan sama sekali tidak punya kepentingan politik untuk meretas situs SBY. Latar belakang Wildan tak lain hanya iseng, yang dimana mayoritas para defacer biasanya mempunyai tujuan tersendiri seperti tujuan politik, protes atau lainnya. 

ü Analisa Kasus
Dalam kasus peretasan situs SBY, tindakan pelaku termasuk dalam jenis cybercrime Unauthorized Access to Computer System and Service merupakan kejahatan yang dilakukan dengan memasuki / menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya.
Hacking dalam kasus ini termasuk dalam jenis kejahatan deface. Deface adalah aktifitas yang mengotori, “menodai”, merubah inti dari isi halaman suatu website dengan tulisan, gambar, ataupun link yang membuat suatu link menjadi melenceng dari perintah yang dibuat. Sedangkan pengertian dari web deface adalah melakukan perubahan pada halaman web depan pada situs-situs tertentu, dilakukan oleh para hacker atau cracker untuk mengganggu informasi yang dimunculkan pada halaman situs yang dimaksud. Hacker memasuki suatu sistem atau jaringan komputer untuk  menguji keandalan suatu sistem tersebut. Sedangkan crakcer memasuki sistem orang lain yang mempunyai sifat destruktif di jaringan ke komputer.
Motif pelaku kejahatan (cracker) biasanya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia, membypass password, deface, serta menunjukkan kelemahan keamanan sistem. Faktor yang mempengaruhi kejahatan ini adalah adanya akses internet yang tidak terbatas, pekerjaan, kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat, iseng dan unjuk kebolehan, dan lain-lain.
Berdasarkan tindak kejahatan pelaku, maka pelaku crakcer dapat dijerat dengan  beberapa pasal, antara lain :
1.Pasal 30 UU No.11/2008 tentang ITE.
Pada pasal ini terdapat aturan secara khusus tentang tindak pidana mengakses, menjebol,
dan mengambil suatu informasi/ sistem elektronik yang dimiliki oleh orang lain.
2.Pasal 32 UU No.11/2008 tentang ITE.
Pada pasal ini terdapat aturan khusus tentang mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
3.Pasal 406 KUHP tentang deface atau hacking dengan  pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Selasa, 11 November 2014

Kasus Carding The Body Shop Indonesia

Kejahatan Carding ini terjadi pada Maret 2013 yang lalu. Menurut Chief Financial Officer The Body Shop, Jahja Wirawan Sudomo, ada tiga gerai yang diduga bermasalah, yaitu di Bintaro (Tangerang), Casablanca, dan Basko Padang.
Sejumlah data nasabah kartu kredit maupun debit dari berbagai bank dicuri saat bertransaksi di gerai The Body Shop Indonesia. Sumber Tempo mengatakan, data curian tersebut digunakan untuk membuat kartu duplikat yang ditransaksikan di Meksiko dan Amerika Serikat.
Data yang dicuri berasal dari berbagai bank, di antaranya Bank Mandiri dan Bank BCA. Menurut Direktur Micro and Retail Banking Bank Mandiri, Budi Gunadi Sadikin, pihaknya menemukan puluhan nasabah kartu kredit dan debit yang datanya dicuri. Adapun transaksi yang dilakukan dengan data curian ini ditaksir hingga ratusan juta rupiah. 
Kejahatan kartu kredit terendus saat Bank Mandiri menemukan adanya transaksi mencurigakan. Yaitu kartu yang biasa digunakan di Indonesia tiba-tiba dipakai untuk bertransaksi di Meksiko dan Amerika. Setelah dilakukan pengecekan terhadap nasabah, ternyata kartu-kartu itu tidak pernah digunakan di sana.

ü Analisa Kasus
Pada umumnya carding identik dengan transaksi pembelian suatu barang atau jasa dengan menggunakan identitas kartu kredit milik orang lain secara tidak sah atau illegal. Dimana data yang diperoleh pelaku (carder) dengan cara melawan hukum, biasanya dengan cara mengakses, menjebol dan mengambil data kartu kredit milik korban, melalui jaringan internet.
Kejahatan carding bersifat Non violance ( tanpa kekerasan ) tidak melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban seperti ancaman secara fisik untuk menimbulkan ketakutan sehinga korban memberikan harta bendanya. Pelaku tidak perlu mencuri kartu kredit korban tapi cukup dengan mengetahui nomor dari kartu tersebut maka ia sudah bisa beraksi.
Carding dapat di ketegorikan sebagai tindakan murni kriminal yaitu kejahatan yang murni dilakukan karena motif kriminalitas serta termasuk dalam  cybercrime Infringements of prifacy yaitu kejahatan yang dilakukan dengan cara mendapatkan informasi yang bersifat pribadi dan rahasia.
Tujuan carding sendiri adalah untuk membeli barang secara tidak sah atas beban rekening dari pemilik kartu kredit yang sebenarnya atau untuk menarik dana secara tidak sah dari suatu rekening bank milik orang lain. Dimana faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan ini biasanya adalah faktor ekonomi dan sosial budaya.
Berdasarkan kasus ini pelaku kejahatan carding tersebut dapat dijerat pasal berlapis. Beberapa pasal, diantaranya:
1.Pasal 30 UU No.11/2008 tentang ITE.
Pada pasal ini terdapat aturan secara khusus tentang tindak pidana mengakses, menjebol,
dan mengambil suatu informasi/ sistem elektronik yang dimiliki oleh orang lain.
2.Pasal 32 UU No.11/2008 tentang ITE.
Pada pasal ini terdapat aturan khusus tentang mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik.
3.Pasal 362 tentang pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
4.Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dengan pidana penjara paling lama enam tahun.